Minggu, 26 Desember 2010

Tentara Langit di Karbala

Sudah lama aku ingin mengetahui kisah tentang dua orang wangi-wangian Rasulullah, Hasan dan Husein.
“Tentara Langit Karbala: Epik Suci Cucu Sang Nabi”, salah satu dari sedikit (mungkin) buku yang khusus menceritakan peristiwa itu. Buku yang minimalis (225 halaman) ini ditulis oleh Khalid Muhammad Khalid, seorang penulis termasyur sejarah keluarga dan sahabat Nabi, juga seorang politisi jebolan Univ Al Azhar Kairo, seorang yang lembut hati tapi berpendirian, yang wafat pada tahun 1996.
Awalnya buku yang diterbitkan oleh Mizania ini terasa agak sulit memahaminya, karena terjemahannya bergaya bahasa arab. Tapi semakin kebelakang, semakin menguras air mata…

Peristiwa Karbala dimulai dari perbedaan model pemikiran Bani Hasyim (ahlul bait Nabi) dengan Bani Umayyah (keturunan Abu Sufyan). Bani Hasyim melihat agama sebagai agama, kenabian, petunjuk dan cahaya penerang. Sebaliknya Bani Umayyah melihat agama sebagai kerajaan, kekuasaan dan kedaulatan.

Ketika Ali ibn Abi Thalib wafat, maka putra tertuanya Hasan ibn Abi Thalib mendapatkan baiat dari kaum muslimin untuk menggantikan menjadi khalifah (jadi bukan karena wasiat ayahnya). Hasan menerimanya dengan penuh keterpaksaan. Sesunggguhnya beliau tak pernah menginginkan kekuasaan. Tapi ada satu golongan dari kubu Muawiyah (putra Abu Sufyan) yang menolak pembaiatan itu. Dia menginginkan kursi khalifah jatuh ditangannya (pada saat pemerintahan Usman bin Affan, sudah mulai dihembuskan isu dan fitnah, bahwa keluarga Ali mengejar kursi kekhalifahan, padahal, Ali-lah yang termasuk orang pertama yang memberikan baiat pada Usman bin Affan, begitu ketika perang, Usman wafat, Hasan dan Husein menghadap ayahnya dengan berlumuran darah, tapi sang ayah marah dan berkata, “mengapa kalian tidak mati dalam melindunginya?” )
Karenanya Hasan yang lembut hati dan menyukai perdamaian berniat untuk menyerahkan saja kursi kekhalifahjan kepada Muawiyah, tapi 40.000 pasukan tempur siap membelanya, menolak niat Hasan tersebut (Husein pun menolak niat saudaranya). Maka, dua kubu berdiri siap untuk bertempur. Tapi Hasan tidak tahan membayangkan pertumpahan darah dan perang saudara yang akan terjadi, beliau berdiri ditengah dan mempersembahkan kursi kekhalifahan pada Muawiyah dengan beberapa perjanjian. Diantaranya adalah Muawiyah tidak boleh mengangkat penggantinya kelak, semuanya harus dikembalikan kepada kaum muslimin.
Selanjutnya Muawiyah pulang ke Syam, ke istananya yang megah, sedangkan Hasan Husein kembali ke Madinah. Muawiyah menjadi pemimpin yang bengis dan zalim, sementara makin banyak kaum muslimin yang mengikuti pengajian yang ditegakkan Hasan Husein. Mereka berdua semakin dicintai kaum muslimin. Kondisi ini membuat dengki Muawiyah, sehingga salah seorang istri dari keluarga Abu Sufyan meracuni Hasan. Hasan wafat dan tidak diizinkan Muawiyah untuk dimakamkan disebelah Rasulullah, akhirnya beliau dimakamkan di Baqi’.

Muawiyah mengangkat gubernurnya di Bashrah, yaitu Ziyad. Ziyad dijadikannya sebagai orang yang sangat keras dan kejam. Sementara ia sendiri mulai bersandiwara sebagai orang yang lemah lembut. Sampai di akhir hayatnya ia mengangkat Yazid anaknya (seorang yang sangat jauh dari cakap, suka berfoya foya, berjudi dan mabuk mabukan), untuk menggantikan kedudukannya, sekaligus melupakan perjanjiannya dengan Hasan ibn Ali.
Berita itu disampaikan sekaligus dimintakan baiatnya oleh Marwan, gubernur Madinah. Tentu saja ditolak keras oleh Husein ibn Ali, Abdurrahman ibn Abu Bakar, Abdullah ibn Umar dan Abdullah ibn Zubair. Dan yang paling keras diantara mereka berempat itu adalah Abdullah ibn Zubair, dialah yang diwasiatkan Muawiyah kepada Yazid untuk mencincangnya jika ia dapat ditaklukkan.
Yazid meminta pertolongan Marwan untuk mengalahkan pengaruh mereka berempat. Marwan (yang nanti dia dan keturunannya akan menggantikan Yazid, -dan diberitakan, raja raja keturunannya tak ada yang layak disucikan kecuali Umar ibn Abdul Aziz r.a-)

Sejak wafatnya Hasan, Husein ibn Ali pergi ke Makkah untuk mencari keamanan dan perlindungan, beliau disertai dua saudarinya, Zainab dan Ummu Kultsum, saudaranya Abu Bakar, Abbas dan Ja’far, juga putra saudara-saudara kandungnya Hasan ibn Ali.
Suatu ketika rakyat Kufah mengirim surat kepada beliau, berisi ajakan agar datang kepada mereka untuk mendapatkan baiat dan menolak kesewang-wenangan yang dialami umat dengan naiknya Yazid. Husein mengirimkan utusan menuju Kufah, yaitu Musallam ibn Uqail ibn Abu Thalib untuk melihat kesungguhan rakyat Kufah. Mata-mata Yazid mengetahui hal tersebut, tapi gubernur Kufah saat itu Nu’man menolak memerangi utusan Husein, sehingga ia kemudian dicopot dan digantikan oleh Abdullah ibn Ziyad penguasa Bashrah. Ibn Ziyad mewarisi kekejian ayahnya, ia juga membunuh utusan Husein yang datang ke Bashrah untuk mengajak rakyat Bashrah melakukan perlawanan.
Ibn Ziyad memasuki Kufah secara diam diam, tapi secara unik dapat diketahui oleh Musallam ibn Uqail, namun, Musallam tidak melakukan penyergapan terhadap ibn Ziyad, karena sebagai seorang mukmin, Rasululullah melarang melakukan tipu daya dan membunuh dengan menyergap.
Musallam berhasil mendapatkan simpati dan baiat rakyat Kufah yang telah lama merindukan Husein, beliau mengirim surat kepada Husein untuk segera datang ke Kufah. Namun, dengan tipu daya licik dari Ibn Ziyad, justru Musallam yang disergap dan dipenggal kepalanya oleh ibn Ziyad.
Husein belum mengetahui hal ini, hingga beliau mempersiapkan keberangkatannya bersama seluruh keluarganya. Beliau mengirim utusan kepada rakyat Kufah memberitahukan kedatangannya, orang tersebut adalah Qais. Sementara kaum muslimin beserta sahabat sahabat Husein, berusaha menghentikan tekad Husein untuk datang ke Kufah, mereka memiliki firasat bahwa Husein akan mengalami peristiwa yang buruk, tapi tekad Imam Husein sudah bulat. Andai saja Yazid ibn Muawiyah adalah seorang yang cakap, pintar dan berakhlak mulia, maka ia-lah orang pertama yang memberikan baiatnya, namun kondisinya adalah kebalikan dari semua itu, jika tidak dilawan sekarang, bagaimanakah pertanggungjawabannya sebagai ahlul bait yang tersisa dihadapan Allah, jadi bukan karena kekuasaan ia berperang. Husein tidak akan mebiarkan agama Allah dan hak manusia menjadi permainan di tangan Yazid.
Husein merasa bertanggung jawab terhadap seluruh keluarga besarnya, karenanya ia membawa serta seluruh keluarganya menuju Kufah (ia tidak menyangka keadaan di Kufah sudah sepenuhnya dikuasai ibn Ziyad).
Dalam perjalanan menuju Kufah, Husein bertemu dengan rombongan Zuhair ibn Qiyan yang sedang melakukan perjalanan. Husein membisikkan kata-kata “apakah Zuhair ingin memperoleh surga sekarang ataukah nanti?”, maka Zuhair pun bergabung dengan rombongan Husein, sedangkan keluarganya disuruh kembali ke kampung halaman.
Ditengah perjalanan, akhirnya Husein memperoleh kabar tentang keadaan semua utusan yang diperintahkannya ke Kufah dan Bashrah, namun Husein dan rombongan sudah bertekad bulat untuk menepati janjinya pada undangan rakyat Kufah.

Ibn Ziyad mengisolasi rakyat Kufah, dan mengutus pasukan untuk mencegat rombongan Husein, pasukan tersebut dipimpin oleh Al- Hurr ibn Yazid Al-Tamimi. Pasukan ini berhasil menemukan Husein, namun keadaan pasukan sangat haus menahan panas, mereka hampir mati lemas, dan melihat hal tersebut, Imam Huseien menyuruh sahabatnya memberikan air kepada pasukan tersebut. Mereka shalat berjamaah, dan berbincang bincang. Perbincangan sampailah pada maksud pasukan untuk membawa Husein dan rombongan ke hadapan Ibn Ziyad, tentu saja Husein menolak mentah mentah. Pasukan yang telah ditolong sebelumnya itu pun mulai menghalang halangi kepergian rombongan Husein, mereka dicegat kesana kemari, bahkan menuju mata air. Pasukan membiarkan rombongan Husein kehausan, sementara sebelumnya mereka justru ditolong..Husein pun marah dan mengumumkan perang terhadap pasukan (karena dalam rombongan Husein juga terdapat anak kecil yang sedang sakit, hingga sangat membutuhkan air). Namun Al-Tamimi menolak perang, ia hanya ditugaskan menahan Husein, bukan memeranginya oleh ibn Ziyad, demikian ia berkata.
Ketika Husein dipuncak amarahnya, ia bertanya, apa nama tempat dimana mereka sekarang berada, mereka menjawab “Karbala”, maka sirnalah harapan Husein, ia gelisah dan putus asa, disinilah, tempat inilah yang sudah diramalkan oleh kakeknya Rasulullah saw, ayahnya Ali ibn Abi Thalib r.a, sebagai akhir dari perjalanannya….
Namun, Imam Husein merenung dan mengingat ingat kembali apa yang telah diajarkan kakeknya yang mulia, “Bagi Allahlah segala urusan, sebelumnya dan sesudahnya”. “Katakanlah, tidak akan menimpa kita kecuali apa yang telah ditentukan Allah terhadap kita”. Akhirnya beliau bangkit, mendirikan tenda dan mengurus keluarganya dengan penuh kasih sayang dan kesabaran, beliau bangkit dengan penuh keagungan.

Diceritakan di halaman 155, Ibn Ziyad memiliki penasihat dalam kekejiannya, ialah titisan ruh jahat yang buruk rupa dan buruk budi yang bernama Syimr ibn Dzil Jun.
Ibn Ziyad melakukan perbuatan keji dalam memaksa rakyat Kufah memerangi Husein, kepala mereka yang tidak mau tunduk dipenggal dan digelindingkan dipasar, sehingga banyak yang terpaksa mengikutinya. Salah satunya adalah pemimpin 4000 pasukan, Umar ibn Saad. Tetapi akhirnya ia takluk akan kekuasaan yang dijanjikan padanya. Umar ibn Saad meminta Husein untuk menemui Ibn Ziyad dan memberi baiat pada Yazid, sehingga ia tak perlu berperang melawan cucu Rasulullah, namun, Husein menolak, (berdasarkan kesaksian ‘Uqbah ibn Sam’an, salah satu dari 2 sahabat Husein yang selamat)
Husein meminta pengunduran perang, agar wanita dan anak anak dapat kembali ke Makkah. Ia juga mengumumkan kepada rombongannya untuk pergi meninggalkan dirinya sendiri, karena yang diinginkan Yazid hanyalah dirinya, dia tak ingin 72 pengikutnya ikut binasa. Tapi tak seorangpun yang pergi, mereka berikrar akan hidup dan mati bersama Husein (diceritakan dengan penuh haru di hal 170-172).

Diceritakan juga di hal 173 : Husein berdiri menyiapkan pasukannya. Dia tempatkan Zuhair ibn Qiyan disebelah kanan dan Habib ibn Mazhhar disebelah kiri. Dia berikan panji kepada saudaranya yang bernama Al-Abbas ibn Ali. Para pemuda dari ahlul bait maju ke depan untuk mengambil posisi di barisan pertama. Dengan serentak mereka didorong oleh para pendukung Husein dengan mengatakan,
“Ma’adzallah, kalian mati duluan, sedangkan kita masih hidup dan menyaksikan kematian kalian. Kita harus lebih dulu, barulah kemudian kalian”
Begitulah, 4000 melawan 72 orang. Yang lebih mengherankan lagi, mereka keluar melakukan kejahatannya usia shalat Subuh bersama pimpinannya, apakah mereka benar-benar shalat? Apakah mereka membaca shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad diakhir shalat mereka?
Pertempuran hampir mulai, (hal 175), terjadilah peristiwa menakjubkan, ketika Al-Hurr ibn Yazid Al-Tamimi turun dari kudanya disisi ibn Saad, datang dan merangkul Husein dengan air mata yang mengalir, ia bertobat dan berkata pada ibn Saad, “perangi juga aku bersamanya (Husein)”..
Panah pertama dilepaskan oleh Umar ibn Saad, pemimpin pasukan ibn Ziyad, sebagai pertanda dimulainya pertempuran. Dari barisan para pahlawan tampak maju Abdullah ibn Umar Al-Kalibi, yang datang terbirit birit bersama istrinya dari Kufah menyusul Husein.
Ada kejadian yang mengharukan, ketika ia terluka parah, istrinya menyusul di medan laga untuk melindungi suaminya, tapi sang suami malah mendorongnya menyuruh kembali ke tenda. Sang istri tak mau mematuhi, ia ingin masuk surga bersama sama suaminya, kejadian itu berlangsung berkali kali, sehingga menarik perhatian Husein, dan dengan lembut memerintahkannya kembali ke tenda. Namun, ketika akhirnya suaminya syahid, istrinya kembali ke pertempuran untuk melindungi jasad suaminya agar tidak dipenggal para durjana yang sengaja berniat tidak hanya membunuh, tapi juga memenggal. Apa daya, sang istri ikut syahid ketika orang terlaknat benci melihat adegan tersebut, Syimr ibn Dzil Jun datang dari belakang dan memenggal keduanya…
Kemudian tampak juga Urwah ibn Qais gugur sebagai syuhada.
Pertempuran dasyat dan penuh gagah berani sekaligus diikuti para pahlawan yang syahid diceritakan di hal 177-185. Pasukan ibn Ziyad melepaskan pasukan panah, kemudian membakar tenda perkemahan rombongan Husein, sehingga para pahlawan dikepung dimana mana.
Ketika tengah hari, Husein meminta perang dihentikan untuk sholat, anehnya, ibn Ziyad sholat juga beserta pasukannya.
Pendukung Husein tinggal sedikit, tapi para pahlawan yang tersisa sekali lagi mendatangi Husein, merangkul beliau saling menguatkan, tekad mereka semakin kuat. Lihatlah Hanzhalah ibn Sa’ad Al-Syami, Saifullah ibn Al-Haris dan saudaranya bernama Malik, Abdullah ibn Urwah dan saudaranya. Mereka selalu mengelilingi dan melindungi Husein.
Begitu juga Syaudzab, Abbas ibn Abu Syabib, Nafi’ ibn Hilal al-Bujali, Suwaid ibn Abu Al-Mutha’ dan lain lain berperang dengan penuh keberanian. Tidak cukup kata untuk merangkumnya, tak mampu bahasa untuk merangkainya.
Kemudian keluarga Husein maju ke depan, mereka seolah mencium bau wangi kakek mereka, nenek dan paman paman mereka terdahulu telah menanti di pintu surga. Orang pertama adalah Ali ibn Husein, baru berumur 19 tahun ketika harus syahid. Sang ayah memuji Tuhannya ketika menggendong putranya dan meminta saudarinya Zainab untuk menjaga jasad tersebut agar tidak dipenggal. Zainab tak kuasa menahan sedihnya melihat ranum remaja itu akhirnya gugur. Husein melihat itu, dan dengan penuh kasih sayang dimintanya Zainab untuk bersabar dan kembali ke tenda yang tersisa, sedangkan ia sendiri kembali ke pertempuran.
Selanjutnya adalah adegan kesyahidan dari ahlul bait yang tersisa, Ubaidillah ibn Ali ibn Abu Thalib, Ja’far, Ustman, Muhammad Al-Asgar, Abu Bakar dan Al-Abbas ibn Ali yang terkenal dengan ketampanannya, sehingga dijuluki ‘rembulan Quraisy’.

Putra putra Hasan dan Husein maju semua, Abu Bakar ibn Husein, Abdullah ibn Husein, dan Qasim ibn Hasan. Begitu juga putra Ja’far ibn Ali ibn Abu Thalib, Muhammad dan Abdullah, Putra putra Uqail ibn Abu Thalib; Abdullah Al-Akbar, Abdullah Al-Ashgar dan Ja’far. Putra putra Musallam yang dibunuh ibn Ziyad di Kufah, yaitu Muhammad dan Abdullah. Sebagaimana Muhammad ibn Abu Said ibn Uqail, mereka semua maju ke medan laga.

Bocah kecil, anak termuda pada saat itu, Al-Qasim ibn Hasan keluar dengan pedang terhunus, tapi tak bertahan lama, demi melihat itu, pembunuhnya segera dikejar Husein, lalu digendongnya putra saudaranya tersebut sambil berlinang air mata menyesali tak dapat menolongnya..
Hingga…tibalah waktunya Imam Husein sendirian…para pembunuh mengelilinginya, tapi tak mampu berbuat menyerang orang mulia itu, mereka hanya diam dengan hati gentar akan dosa…sampai datanglah manusia terlaknat, Syimr ibn Dzil Jun, mengomando mereka untuk memenggal Husein. Mereka bergerak maju sampai dikejutkan suara bocah kecil dari tenda yang datang dengan pedang terhunus, Abdullah ibn Hasan..tak lama, ia pun syahid, diusung oleh Husein dijaga oleh Zainab dengan hati kelu…
Ia berteriak pada Ibn Saad, untuk menggunakan nuraninya, Ibn Saad menangis tapi tak mampu menghentikan langkahnya, tak mampu menghalangi Syimr memenggal kepala Husein in Abi Thalib…orang mulia itu telah syahid….
Pertempuran berakhir sore hari, saat halilintar menggelegar dengan keras sibuk menyambut ruh ruh suci para syuhada dan hujan membasahi padang karbala, mengalirkan darah darah suci kemana mana…

Ada dua yang tersisa dari Ahlul bait, Zainab binti Ali bin abi Thalib, putri Fatimah binti Rasulullah..dan bocah kecil yang sakit, Ali ibn Husein Al-Ashghar. Mereka digiring menuju Ibn Ziyad, tapi dengan dada membusung penuh kehormatan. Mereka menjawab telak pertanyaan membalikkan ejekan ejekan yang dilontarkan Ibn Ziyad, sampai Ibn Ziyad menjadi kecut. Hampir Ali dibunuhnya, namun Zainab melindungi. Suatu saat kita akan mengenal nama besar ahlul bait yang tersisa ini, ‘Ali Zainal Abidin’.
Kejadian yang sama terulang di depan Yazid, tuan mereka, Yazid tak mampu berkata kata, bahkan melarikan diri dari hadapan Zainab dan Ali.
Peristiwa Karbala menyulut kemarahan kaum muslimin, mereka bersatu melakukan pemberontakan besar besaran di Makkah dan Madinah, Yazid dan pengikutnya mati secara terhina…
“Sesungguhnya makar Allah lebih dashyat…”

Sayangnya, beberapa orang dalam memahami peristiwa Karbala menjadi sesat dengan diperingatinya tanggal 10 Muharam dengan menyakiti diri mereka sendiri, berusaha menghayati kejadian yang dialami Imam Husein di Karbala pada waktu itu. Apakah kita harus begitu? Bukankah Allah melarang menyakiti diri sendiri? Mengapa kita tidak meneruskan perjuangan para syuhada dengan meluruskan ajaran Nabi tercinta? Meletakkannya kembali pada jalan yang dituntun oleh Al-Qur’an dan hadisnya? Paling tidak, pada diri kita sendiri…Wallahualam…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

WPBisnisOnline